Sabtu, 06 Oktober 2012

KESULTANAN DINASTI AYYUBIYAH DI DAMASKUS


SALAHUDDIN AL-AYYUBI, SULTAN PARA KSATRIA


Salahuddin lahir di Tikrit, di tepi Sungai Tigris Iraq pada tahun 1137. Keluarganya berasal dari suku Kurdi. Ia dibesarkan di sebuah keluarga birokrat terpandang di kekhalifahan Islam di Iraq. Sultan Zengi di Syria menunjuk ayahnya yang piawai di pemerintahan dan diplomasi sebagai gubernur kota Baalbek.

Bernama asli Salah al Din Abu Muzaffir Yusuf ibnu Ayyub ibnu Shadi, Salahuddin menghabiskan masa kecilnya di Baalbek dan Damascus. Saat ia berusia enam tahun, bangsa Muslim sedang dalam masa peperangan dengan bangsa Nashrani. Meski situasi tak menentu, ia tetap ditempa ayahnya untuk menguasai sastra, ilmu kalam, menghafal Al Quran dan ilmu hadits di madrasah.

Di abad pertengahan, harapan untuk hidup termasuk kecil dan kaum muda diberikan tanggung jawab besar sejak usia dini. Pada usia 14 tahun, Salahuddin telah menikah dan ditarik pamannya, Shirkuh yang menjabat sebagai komandan militer senior di kota Aleppo ke dalam divisi militernya.

Dunia kemiliteran semakin diakrabinya setelah Sultan Nuruddin menempatkan ayahnya sebagai kepala divisi milisi di Damascus. Pada umur 26 tahun, Salahuddin menjadi asisten pamannya dalam memimpin pasukan muslimin yang berhasil memukul mundur pasukan salib dari perbatasan Mesir dan Aleppo.

Berada di lingkar pusat militer membuat Salahuddi menyaksikan bagaimana kebijakan strategis politik terhadap pasukan salib diputuskan pihak kekhalifahan. Bakat kepemimpinan dan militernya diendus oleh Sultan Nuruddin. Pada tahun 1169 ia diangkat sebagai wazir atau panglima gubernur menggantikan pamannya.

Meski memiliki ayah dan paman yang telah makan asam garam, mentor utama Salahuddin justru Sultan Nuruddin. Sultan Nuruddin adalah penguasa Muslim pertama yang melihat jihad terhadap pasukan salib dapat berhasil jika bangsa Muslim bersatu.

Tiga tahun kemudian, ia menjadi penguasa Mesir dan Syria menggantikan Sultan Nuruddin yang wafat. Suksesi yang ia lakukan sangat terhormat, yaitu dengan menikahi janda mendiang Sultan demi menghormati keluarga dinasti sebelumnya. Ia memulai dengan revitalisasi ekonomi, reorganisasi militer, dan menaklukan Negara-negara muslim kecil untuk dipersatukan melawan pasukan salib.

Impian bersatunya bangsa muslim tercapai setelah pada September 1174, Salahuddin berhasil menundukkan Dinasti Fatimiyah di Mesir untuk patuh pada kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad. Dinasti Ayyubiyah akhirnya berdiri di Mesir menggantikan dinasti sebelumnya yang bermazhab syiah.

Pada usia 45 tahun, Salahuddin telah menjadi orang paling berpengaruh di dunia Islam. Selama kurun waktu 12 tahun, ia berhasil mempersatukan Mesopotamia, Mesir, Libya, Tunisia, wilayah barat jazirah Arab dan Yaman di bawah kekhalifahan Ayyubiyah. Kota Damascus di Syria menjadi pusat pemerintahannya.

Kota Yerussalem tetap menjadi target utama Salahuddin. Namun ia berusaha berhati-hati dalam mengambil keputusan mengenai kota suci yang dikuasai bangsa Nashrani ini. Ia belajar dari kekalahannya di pertempuran Montgisard oleh pasukan gabungan Raja Baldwin IV Yerussalem, Raynald of Chatillon dan Ksatria Templar di tahun 1177. Hanya sepersepuluh saja dari pasukannya yang berhasil pulang ke Mesir.

Perjanjian damai sempat disepakati antara Salahuddin dan Raja Baldwin IV. Namun sebuah insiden memaksa Salahuddin untuk menggelar kembali misi perebutan Yerussalem. Ini di picu oleh aksi penyerangan Raynald of Chatillon terhadap rombongan pedagang dan peziarah haji yang melintasi wilayah Palestina secara membabi buta. Seorang adik perempuan Salahuddin menjadi korban penyerangan ini.
Tags: Raja Baldwin IV Yerussalem, Raynald of Chatillon, Salahuddin Al Ayyubi, Shirkuh, Sultan Nuruddin, Sultan Zengi


A. Pembentukan dan Perkembangan Dinasti al-Ayyubiyah..

Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyar¬bakr, dan Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan ke¬kua¬sa¬an Ima-duddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo, Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512H/ 1118 M-522H/1128M).

Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia me¬ninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang me¬nguasai utara Syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara Salib, dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. Dalam perkem¬bangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas ke¬kua¬saannya, yang mem¬ben¬tang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepe¬mimpinan keluarga Imaduddin Zangi jatuh ketangan anaknya, Ismail.

Pengaruh Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imaduddin Zangi, yang membantu Sultan Masud dalam mengahadapi khalifah Abbasiyah, al-Mustarsid. Ke¬tika perlawanan itu gagal, Imaduddin mundur ke Tarkit. Di kota inilah ia men¬dapat dukungan dari Najmuddin.Ia ditunjuk menjadi penguasa Baala¬bek. Ke¬ti¬ka Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan dikalangan keluarganya untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin, salah seorang putra Imaduddin, bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di sam¬ping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara Sa¬lib. Karena itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin me¬nyerang Mesir pada tahun 559H/1163M. Serangan ini berakhir dengan kegagalan aki¬bat campur tangan tentara Salib. Serangan kedua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H/1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir.

Serangan ke tiga dilaksanakan pada atahun 564H/1168 M sebagai jawaban atas permintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Ke-menangan atas tentara Salib dalam pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin sebagai wazir bagi khalifah Fatimiyah. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan te¬tap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan penagkuan
Salahuddin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syiah dengan
Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Salahuddin mendapat pe¬ngakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa setempat sebagai pemim¬pinnya.

Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga diha¬bis¬kan untuk melawan kekuatan tentara Salib.Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk menakkan kota-kota lainya di Palestina dan Suriah. Setelah perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup dalam keadaan damai.Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan da¬erah pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gang¬guan terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun.

Dalam catatan sejarah, Salahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, meng¬gali terusan, seta mendirikan seklah dan masjid. Salah satu karya yang sangat monu¬mental adalah Qalah al-Jabal, sebuah benteng yang dibangun di Kairo pada tahun 1183.

Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya. Setelah Salahuddin al-Ay¬yubi meninggal, daerah kekuaannya yang terben¬tang dari sungai Tigris hingga su¬ngai Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al-Malik al-Afdhal Ali, putera Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab), dan al-Adil, adik Salahuddin, memperoleh kekuasaan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tung¬gal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-Adil yeng bergelar Saifuddin itu me¬ng¬u¬tamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, se¬ring terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.

Kemudian al-Kamil Muhammad, putera alAdil, yang menguasai Mesir (615 635 H/12181238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah me¬naklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayah¬nya..penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguaai jalur peragangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Di samping memberikan perhatian seius pada dalam bi¬dang politikdan mliter, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang mem¬be¬rikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya ang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan per¬ta¬nian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Erpa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antra umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.

Pada masa it kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah ada tahun 12401249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nl ditaklukan kembali oleh tentara alib ang dipimpin oleh Raja Louis IX ari Perancis. Ketika pa¬suk¬an Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalakan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250.

Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah di¬panggil pulang dari Mesopotamia (Sutiah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini.. Kekuasaan yang sebenarnya justeru bera¬da di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ). Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, beakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke pmerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M. U)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar